Rabu, 30 Juni 2010

ASPEK HUKUM PERDATA DALAM PENANGGULANGAN KORUPSI DI INDONESIA

RINGKASAN DISERTASI



ASPEK HUKUM PERDATA
DALAM PENANGGULANGAN KORUPSI DI INDONESIA

(TINJAUAN HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA BERDASARKAN HUKUM PIDANA POSITIF DAN PEMANFAATAN HUKUM PERDATA TERHADAP PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA HASIL KORUPSI DALAM KASUS BLBI).

A. Latar Belakang Penelitian

Perbuatan korupsi sebenarnya sarat dengan kepentingan-kepentingan baik secara pribadi maupun kelompok, serta tidak jarang sarat dengan muatan politik.
Menurut sejarahnya perbuatan korupsi sudah ada sejak jaman raja-raja dan penjajahan Belanda. Kebiasaan memberikan sesuatu untuk mencapai kepentingan baik pribadi/kelompok menjadi suatu hal yang wajar, dahulu disebut dengan pemberian atau ”upeti”. Fenomena demikian berkembang sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri/ kelompoknya, sehingga termasuk delik pidana. Biasanya korupsi dilakukan berjamaah, diam-diam, terselubung dan bahkan terorganisir, sehingga tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi digolongkan sebagai kejahatan extraordinary crimes. Maka diperlukan upaya pemberantasannya juga secara luar biasa.
Kucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh bank penerima dana didasarkan atas kebijakan Pemerintah akibat adanya krisis moneter Tahun 1997/1998 dengan tujuan untuk memulihkan/ menyelamatkan stabilitas perekonomian negara. Namun belakangan dana tersebut justru diselewengkan, artinya tidak dipergunakan sesuai tujuan, tetapi sebaliknya, dana tersebut tidak dikembalikan ke negara dalam tempo yang ditentukan, malah dipergunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya (dengan melibatkan para pejabat negara), untuk itu negara telah dirugikan, akibatnya goncangan perekonomian bangsa bertambah hebat.
Kasus tersebut tidak dapat diselesaikan melalui KUHP. Karena KUHP sebagai hukum positif, tidak mengakomodir tindak pidana korupsi, untuk itu harus diselesaikan melalui ketentuan hukum di luar KUHP.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) sebagai pengganti Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, pada praktiknya tidak dapat menyelesaikan kasus BLBI tersebut, karena terbentur dengan asas legalitas yang bersifat legal-positifistik, sehingga sulit dalam pembuktiannya.
Secara umum penanggulangan kejahatan, dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, Pertama, dengan cara penerapan hukum pidana/Penal (criminal law aflication) kedua, dengan cara tanpa pidana/ Non-Penal (prevention without punishment) dan ketiga, campuran antara Penal dan Non-Penal.
Pembaharuan UU kembali dilakukan, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. UU baru ini memuat beberapa pembaharuan hukum yang luar biasa, antara lain pemanfaatan aspek perdata dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di samping memuat secara tegas tentang pengertian sifat melawan hukum formil dan materiel. Maka menurut penulis pilihan cara tersebut dapat diterapkan dalam penyelesaian Kasus BLBI, dengan tidak mengabaikan asas ultimum remedium.
Oleh karena kasus BLBI tersebut masih bermasalah hingga saat ini, maka perlu kiranya untuk diteliti lebih lanjut dan hasilnya dituangkan dalam Disertasi ini yang berjudul ”ASPEK HUKUM PERDATA DALAM PENANGGULANGAN KORUPSI DI INDONESIA” (TINJAUAN HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA BER-DASARKAN HUKUM PIDANA POSITIF DAN PEMANFAATAN HUKUM PERDATA TERHADAP PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA HASIL KORUPSI DALAM KASUS BLBI).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan suatu masalah yang mendasar yaitu: ”Aspek Hukum apakah yang mampu menyelesaikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para obligator BLBI selaku penerima dana bantuan BI dalam penyehatan bank-bank yang bermasalah pada waktu krisis moneter tahun 1997 dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat, serta kendala-kendala hukum apakah sehingga penyelesaian kasus BLBI tersebut berlarut-larut”. Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka dapat diambil beberapa identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana upaya memberantas korupsi dengan melalui pembaharuan Hukum Pidana Positif guna memberantas korupsi di Indonesia?
2. Pemanfaatan aspek perdata yang bagaimanakah yang mampu dan efektif dalam menyelesaikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang Dilakukan oleh Para Obligor BLBI Selaku Penerima Kucuran Dana dari BI dalam Usaha Menciptakan Rasa Keadilan Masyarakat?
3. Kendala Hukum apakah yang menyebabkan berlarut-larutnya penyelesaian tindak pidana korupsi dalam kasus BLBI dan bagaimana solusinya?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian Disertasi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh gambaran sejauhmana upaya pemberantasan korupsi di Indonesia melalui pembaharuan hukum pidana.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis lebih mendalam tentang Pemanfaatan Aspek Hukum Perdata dalam rangka mempercepat pengembalian kerugian keuangan negara, sehingga tercipta rasa keadilan masyarakat.
3. Untuk mengetahui gambaran tentang kendala-kendala hukum yang menyebabkan berlarut-larutnya penyelesaian tindak pidana korupsi dalam kasus BLBI.

D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memperkaya wawasan ilmu pengetahuan bagi kepentingan Pembaharuan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, baik secara Penal maupun Non-Penal.
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pengambil kebijakan dalam upaya pembaharuan hukum pidana positif guna pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, dengan memperhatikan ketentuan dalam konvensi internasional anti korupsi se dunia (UNCAC).
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah, para penegak hukum dan KPK selaku pelaksana kebijakan.dalam upaya pengembalian uang negara akibat tindak pidana korupsi.

E. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini difokuskan pada konsep-konsep teoritika berperingkat, yakni:
1. Grand Theory atau Teori Utama
Teori Negara Hukum dan “Teori Legislasi” Jeremy Betham, yang bersumber pada falsafah Utilitarianisme, yang pada intinya pembuatan undang-undang harus berlandaskan pada kemanfaatan. Artinya Hukum hadir atau dihadirkan harus memberi manfaat besar bagi sebanyak mungkin individu, demikian pula masyarakat sebagai persekutuan hidup juga harus hidup dalam kebahagiaan, bukan sebaliknya menjadi tertekan.
Setiap warga negara wajib menjunjung tinggi hukum guna menjamin kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 UUD 1945), menjadi salah satu ciri dari Negara Hukum (Equality before the law). Untuk itu penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap negara maupun warganya dan kekuasaannya pun dibatasi.
Menurut Paul Scholten, Negara Hukum mempunyai dua cirri, yaitu yang pertama ”er is recht tegenover den staat”, (setiap warga negara” mempunyai hak terhadap negara, dan mempunyai hak terhadap masyarakat). Dapat diartikan bahwa manusia bebas menentukan kehendaknya, tetapi tetap dibatasi oleh hukum. Yang ke dua adalah ”er is scheiding van machten, artinya dalam negara hukum ada pemisahan kekuasaan, oleh karena itu tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum (rule of law).
Secara teoritis konsepsi Negara Hukum yang dianut Indonesia tidak dilihat dari dimensi formal saja, tetapi harus lebih diartikan dalam dimensi materiil atau lazim dipergunakan terminologi Negara Kesejahteraan (Welfare State) atau Negara Kemakmuran. Untuk menjamin itu semua, sesuai dengan amanat Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 maka dalam menyelenggarakan negara (red. Indonesia) harus Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sebagaimana asas umum Pemerintahan yang baik atau good corporate governance.
Teori Jeremy Betham ini menghendaki adanya konsep kepastian yang berkeadilan masyarakat. Maka pembentukan hukum merupakan pencerminan dari suatu masyarakat di mana terdapat diferensiasi dan spesialisasi fungsi-fungsi di dalam masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kebutuhan kerjasama diantara para individu sebagai anggota masyarakat. Untuk itu hukum yang dibutuhkan bukan lagi hukum yang menindak, dan membatasi, tetapi justru yang memberikan jalan keluar (alternatif) sehingga terjadi pemulihan keadaan.
Bila dikaitkan dengan kajian dalam disertasi ini, yaitu tentang pemberantasan korupsi yang notabene telah merugikan keuangan negara (krisis moneter), sehingga menambah kesengsaraan rakyat, maka agar kondisi tersebut segera pulih (rakyat tidak sengsara), maka seyogyanya tidak saja menerapkan dan mengedepankan aturan Penal-nya, tetapi lebih mengutamakan penyelesaian melalui Non-Penal. Hal ini sejalan dengan asas ultimum remidium yang dianut dalam Hukum Pidana Positif Indonesia, yaitu penggunaan sanksi pidana sebagai alat terakhir apabila upaya yang lainnya tidak berhasil.
“Teori Legislasi” pada intinya menghendaki adanya konsep kepastian yang berkeadilan masyarakat, dapat disandingkan dengan Teori Keadilan Komutatif, yang dikemukakan oleh Aristoteles. Artinya konsep tersebut dapat diterapkan kepada setiap individu dengan tanpa membeda-bedakan, apakah pelaku korupsi tersebut sebagai pejabat atau hanya sebagai seorang pegawai negeri, tetapi sesungguhnya yang terpenting adalah adanya ”percepatan pemulihan keadaan”, tersebut”. sedangkan Keadilan Distributif akan dipergunakan sebagai upaya terakhir dalam melesaiakan kasus BLBI.
Maka menjadi relevan apabila Teori Legislasi dijadikan pijakan dalam penyusunan kebijakan yang terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, baik yang bersifat Penal maupun bersifat Non-Penal dengan memperhatikan Teori Keadilan Komutatif (Aristoteles).

2. Midle Range Theory atau Teori Madya
Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, Teori Friedrich Carl Von Savigny, dan Robert Seideman menjadi Midle Range Theory dalam disertasi ini.
Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, Teori Friedrich Carl Von Savigny dapat disandingkan untuk dijadikan pijakan dalam menganalisis permasalahan dalam Disertasi ini.
Hukum merupakan keseluruhan asas-asas dan kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, dan juga mencakup lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kedah-kaedah itu dalam kenyataan. Oleh karenanya apabila hukum dikaitkan dengan politik, seperti yang diungkapkan Mochtar bahwa “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”, maka dari itu menurutnya hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat, untuk itu diperlukan adanya pembinaan hukum dan pembaharuan hukum (a tool of social engineering), untuk mewujudkan kesadaran hukum masyarakat, karena “hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke)”. Maka, menurut Von Savigny hukum itu lahir dari jiwa masyarakat, yang mengakomodasi segala tingkah laku dalam pergaulan hidup di masyarakat.
Namun ketiga teori di atas dalam praktiknya telah bergeser terbalik ketika dihadapkan kepada para pelaku tindak pidana korupsi, yang lebih pintar atau lebih lihai dalam merekayasa hukum yang ada, sehingga betapapun bagusnya (selalu dilakukan pembaharuan hukum), sepanjang moral para pelaku koruptor tidak diperbaiki, maka penerapan undang-undang tetap tidak maksimal.

3. Applied Theory atau Teori Aplikasi
Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul “Membedah Hukum Progresif” mengemukakan, bahwa kegagalan dalam penegakan dan pemberdayaan hukum ditengarai oleh sikap submissive terhadap kelengkapan hukum yang ada seperti prosedur, doktrin, dan asas hukum itu sendiri, selain ketidakmampuan criminal justice system-nya, sehingga dalam membenahi dan mengefisienkan sebuah sistem hukum, tidak cukup dengan hanya membenahi peraturan dan lembaganya saja, tetapi unsur budaya hukum juga harus dibenahi. Artinya tidak saja budaya hukum masyarakatnya, tetapi juga budaya hukum penegak hukum itu sendiri.
Untuk itu diperlukan suatu tindakan hukum yang progresif atau suatu tindakan yang berani, dalam memberantas tindak pidana korupsi yang telah membudaya di Indonesia, yakni melalui beberapa pendekatan (hukum, budaya, politik dan ekonomi). Karena selain telah mencederai rasa keadilan masyarakat, juga telah menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia. Maka perlu dicarikan penyelesaiannya secara berani atau luar biasa pula sebagai upaya untuk pembaharuan hukum pidana dan sekaligus untuk mempercepat pengembalian keuangan atau aset negara yang dikorup, termasuk dalam penanggulangan korupsi yang efektif dan progresif serta dapat menunjang pencapaian pembinaan hukum dalam masyarakat yang dinamis, kreatif, dan inovatif dalam era globalisasi, karena pada praktiknya masyarakat juga ikut andil dalam menciptakan tindak pidana korupsi dan terkadang juga menjadi aktor utamanya demi kepentingan pribadinya.

F. Metode Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini akan menggunakan menggunakan metode penelitian secara spesifikasi penelitian yang bersifat deskriptif analitis Yaitu menggambarkan permasalahan yang menyangkut Aspek Hukum Perdata dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia dalam kasus BLBI kemudian menganalisis melalui peraturan perundang-undangan yang menyangkut fakta tersebut dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu meneliti hukum sebagai norma positif dengan menggunakan metode penafsiran/ Interpretasi Gramatikal, Interpretasi Sistematis, Interpretasi Autentik, Interpretasi Historis, dan Interpretasi Ekstensif.
Penelitian ini dilakukan melalui Penelitian Kepustakaan untuk mendapatkan Data Sekunder dengan menggunakan Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tertier, sedangkan Penelitian Lapangan guna mengambil Data Primer yang berada di instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini, sebagai penunjang data sekundair, dengan cara wawancara, berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya, observasi dan konsultasi dengan para pejabat dalam instansi yang terkait, pakar hukum, praktisi hukum dan para akademisi demi kelengkapan Data Sekunder dalam penelitian ini.
Selanjutnya Data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode kualitatif, artinya dianalisis dengan tidak menggunakan angka-angka atau perhitungan statistik. Kemudian setelah dianalisis baru kemudian pada akhirnya diambil kesimpulan dengan memberikan rekomendasi.

G. Hasil Penelitian Dan Pembahasan

(a) Upaya Memberantas Korupsi di Indonesia Melalui Pembaharuan Hukum Pidana Positif Dalam Mencegah Timbulnya Kerugian Negara.

Kebiasaan memberikan atau menerima ”sesuatu” kepada/dari orang merupakan perbuatan yang lazim dilakukan di negara kita, tetapi kalau pemberian atau ”hadiah” tersebut diberikan dengan tujuan untuk pencapaian suatu kepentingan pribadi, itulah yang menjadi masalah.
Kata ”memberi”, ”menerima”, ”hadiah”, atau juga yang diistilahkan dengan ”upeti” tersebut berkembang kearah yang tidak sehat, artinya mengarah kepada bentuk-bentuk perilaku yang menyimpang. Semula penyimpangan perilaku tersebut hanya sebatas bertujuan untuk mendapatkan hidup yang layak.
Keadaan tersebut saat ini telah bergeser menjadi suatu keadaan yang konsumtif demi kepentingan pribadi/kelompoknya. Misalnya yang sudah hidup layak (kaya) menjadi ingin lebih kaya lagi, atau ingin meraih kedudukan yang lebih tinggi, tetapi dengan cara yang tidak terpuji atau dengan melawan hukum (mis. menyalahgunakan keadaan, kedudukan, dengan menggunakan fasilitas negara) bertujuan untuk ”memperkaya dirinya sendiri”, sehingga negara dirugikan, perbuatan ini masuk katagori Tindak Pidana Korupsi.
Pada hakekatnya, korupsi adalah “tindakan yang tidak terpuji dan melanggar hukum”, yang merusak struktur Pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya Pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Perbuatan Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai “standard atau ukuran kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak” (sifat konsumtif).
Korupsi merupakan obyek hukum yang pada konteks Indonesia dikategorikan sebagai salah satu delik khusus di luar KUHP. Upaya pemberantasan korupsi melibatkan semua pihak, semua sektor dan seluruh komponen perumus kebijakan baik itu Pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini karena praktek korupsi bukan merupakan monopoli perilaku dari pegawai atau pejabat Pemerintah saja, tetapi merupakan perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam masyarakat.
Tahun 1976-1998 merupakan titik puncak praktek korupsi yang dilakukan oleh para banker, ketika Negara Indonesia sedang mengalami krisis moneter yang luar biasa, hingga sulit memulihkan kondisi perekonomian di Indonesia, Pemerintah memberikan kucuran dana khususnya kepada bank-bank besar yang kemungkinan masih bisa diselamatkan, yaitu melalui Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Maksud Pemerintah tersebut kemudian diselewengkan, Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) tersebut dipergunakan untuk kepentingan para pemegang sahamnya (memperkaya diri sendiri), sehingga merugikan keuangan negara yang berakibat tambah terpuruknya kondisi perekonomian negara, sehingga benar-benar mengganggu stabilitas nasional.
Dalam kasus BLBI, para penegak hukum sulit untuk membuktikan unsur “kejahatan dan pelanggaran”nya sendiri semata-mata dikarenakan karakteristik para pelaku korupsi untuk memanipulasi asas dan prinsip-prinsip hukum yakni bersembunyi dibalik Asas Praduga Tidak Bersalah (presumption of inosence), atau bahkan berlindung pada Asas Legalitas, karena melaksanakan aturan yang dikeluarkan Pemerintah, menyalahkan aturan yang ada (multi tafsir), protes terhadap aturan yang ada hingga mengajukan proses uji konstitusi, bahkan menuduh balik penegak hukum melakukan kejahatan yang sama dengan pelaku, mencemarkan nama baik, fitnah, hingga menuduh balik penegak hukum melanggar HAM. Di samping itu juga kasus BLBI sarat dengan muatan politik, serta celakanya uang hasil korupsi banyak disimpan di luar negeri.
Fenomena ini menjadi penyebab sulitnya para pelaku (penyelewengan dana BLBI) untuk disentuh hukum positif, begitu juga tentang barang hasil korupsi sulit untuk dilacak oleh para penegak hukum. UU No. 3 tahun 1971 tidak berfungsi atau mandul, meskipun Pasal 1 butir 1 huruf (a) telah memuat unsur melawan hukum dalam pengertian sifat melawan hukum formil dan materiel dalam arti negatif. Batasan ini lebih disebabkan kepada sulitnya membuktikan delik kejahatannya karena terbentur dengan asas legalitas yang bersifat formal-legalistik. Artinya, segala sesuatunya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai karakter hukum yang ada, dan cenderung bersifat positivistik. Dengan demikian, paradigma positivistik dalam penegakan hukum pidana (termasuk kejahatan politik) Indonesia masih mendominasi cara berpikir para penegak hukum.
Kondisi tersebut semakin meneguhkan pendapat penulis bahwa kenyataannya hukum positif hanya merupakan alat dan sekaligus sarana merekayasa penghalalan tindakan atau perbuatan para koruptor, yang semata-mata mencari jalan agar terhindar dari sentuhan hukum positif. Sungguh sangat memprihatinkan, begitu hebatnya hukum dipermainkan dengan serangkaian tindakan hukum yang disembunyikan dengan rapih dibalik kegiatan atau aktifitas kerja sehari-hari, sehingga yang tampak dari luar seperti tidak terjadi kejahatan. Padahal salah satu ciri negara hukum (Equality before the law) adalah “setiap warga negara wajib menjunjung tinggi hukum guna menjamin kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 UUD 1945), dengan demikian nampak terjadi adanya degradasi kometmen diri selaku Warga Negara, maka tidak jarang terjadi para koruptor berpindah kewarganegaraan ketika mereka melarikan diri ke luar negeri bersama aset bangsa.
Menurut Nigel Walker proses penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui tiga cara, melalui cara penerapan hukum pidana/Penal (criminal law aflication), melalui tanpa pidana/Non Penal (prevention without punishment) dan campuran dari keduanya. Maka Penyelesaian kasus BLBI dapat diterapkan aturan-aturan dalam hukum pidana positif. Namun demikian berdasarkan asas ultimum remidium yang menyebutkan bahwa penerapan pidana merupakan upaya terakhir. Oleh karena UU No. 3 tahun 1971 tidak memuat aturan yang lainnya selain aturan pidananya serta dikaitkan dengan asas legalitas, maka para penegak hukum menjadi kesulitan untuk mencari upaya lain tersebut. Terlebih lagi dalam sistem hukum pidana nasional tidak mengenal acara lain selain pemidaan. Oleh karenanya UU No. 3 tahun 1971 dirubah dan diganti menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
UU baru ini memuat beberapa pembaharuan hukum yang luar biasa, antara lain memuat secara tegas mengenai pengertian sifat melawan hukum formil dan materiel, dimuatnya aturan hukuman mati, mengatur tentang batas minimun sanksi pidana penjara dan denda yang sifatnya kumulatif, mengatur juga tentang pembuktian terbalik, dan dimuatnya aturan tentang pemanfaatan hukum perdata dalam penyelesaian pengembalian aset atau kerugian negara yang dikorupsi, selain itu juga memperbolehkan penggunaan sarana elektronik sebagai alat bukti, serta perlu adanya peran serta masyarakat dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Tujuan dari pembaharuan hukum pidana yang luar biasa tersebut adalah selain untuk mempermudah pembuktian, juga memberikan pilihan penyelesaian tindak pidana korupsi, dengan memperhatikan asas ultimum remidium.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga memuat perluasan subyek hukum dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 yaitu mencakup Pegawai negeri dalam arti luas dan perseorangan serta korporasi. Hal ini secara filosofi bertujuan agar dapat mengakomodir segala bentuk modus operandi dan siapa pun yang melakukan tindak pidana korupsi, sehingga mudah dalam pembuktiannya. Dengan demikian bersifat Lex Specialis legi lex derogat, ternyata dalam praktiknya tetap belum dapat menyelesaikan kasus BLBI secara tuntas.
Maka penulis berpendapat, sekalipun telah dilakukan pembaharuan dalam sistem hukumnya, namun jika hukum induknya secara mendasar tidak berubah, maka tetap saja hukum yang lahir kemudian (meskipun Lex Specialis), akan tetap menjadi sub sistem dari induknya. Padahal upaya pembaharuan hukum tersebut apabila di cermati bertujuan untuk menciptakan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 1999. Oleh sebab itu, menurut Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa secara prinsip hukum akan efektif apabila mempunyai tujuan sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan sosial dan melakukan transformasi secara partisipatif secara battom up bukan top down.
Khusus terhadap perluasan arti sifat melawan hukum (materiel) yang merupakan sebuah terobosan hukum tersebut ternyata menimbulkan perdebatan diantara para penegak hukum dan para pakar hukum yang berfikir normatif dan cenderung formal-positifistik, akhirnya muncul Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) Nomor 003/PPU-IV/2006, yang intinya menyebutkan bahwa ”Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Kemunduran aturan tersebut, berakibat timbulnya kendala terhadap pembinaan hukum dan sekaligus menghambat penegakan hukumnya.
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak saja melalui pembaharuan hukum pidana secara konfensional, tetapi Indonesia juga turut serta meratifikasi konvensi internasional Anti Korupsi Sedunia (UNCAC) yang disahkan melalui Undang-Undang No. 7 tahun 2006, dengan mengembangkan ADR dan Restorative Justice sebagai konsep yang diambil dari dan bersumber nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Hal ini merupakan Flexible approaches are essential to maintain the spirit of restorative justice – to leave key decisions to the stakeholders and to continually incorporate new learnings.
Restorative Justice dan ADR merupakan suatu konsep yang terbuka dalam bentuk implementasinya, artinya dalam pandangan cara bekerja konsep tersebut, sehingga akan lebih dapat dirasakan keadilannya. Sebagai alternatif Restorative Justice dapat optimalkan ketika penyelesaian dititikberatkan pada pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Menilik akibat dari tindak pidana korupsi tersebut dapat merugikan keuangan negara, maka untuk dapat segera memulihkan stabilitas perekonomian Indonesia guna meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, konsep atau mekanisme Restorative Justice dan ADR dapat dijadikan solusi penyelesaian dalam pengembalian aset negara. Namun demikian konsep atau mekanisme Restorative Justice dan ADR rupanya bagi sebagian kriminolog yang berfikir normatif dan cenderung normatif-positifistik tidak sependapat, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 4, 5-12 UU PTPK dan atau Pasal 209, Pasal 419. Pasal 416, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 KUHP.
Tetapi berbeda halnya dengan pendapat Dwidja Priyatno, bahwa mekanisme Restorative Justice dapat dijadikan solusi bagi penyelesaian tindak kejahatan yang menimbulkan kerugian, lebih lanjut mengatakan bahwa menurutnya “penjatuhan sanksi pidana sesungguhnya harus dilihat dari tujuannya, karena hal itu sangat dipengaruhi oleh filsafat yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan pidananya , mengingat penjatuhan pidana terhadap para pelaku koruptor tidak menjadikan jera baginya.
Pandangan demikian merupakan kesepakatan bersama (Internasional) dalam Kongres PBB ke-9/1995 tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders membahas tentang manajemen peradilan pidana sebagaimana dimuat dalam dokumen A/CONF.169/6. Hasil Kongres tersebut mengungkapkan bahwa perlunya semua negara mempertimbangkan privatizing some law enforcement and justice functions dan alternative dispute resolution (ADR) yang berupa mediasi, konsiliasi, restitusi, dan kompensasi dalam sistem peradilan pidana. Konferensi International Penal Reform Confe-rence yang diselenggarakan di Royal Holloway College, University of London.
Penulis sependapat dengan Satjipto Rahardjo, bahwa untuk menciptakan good corporate governance, sehingga dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat maka tidak cukup hanya membenahi peraturan dan lembaganya saja, tetapi harus tetap memperhatikan unsur budaya hukum, Artinya tidak saja budaya hukum masyarakatnya, tetapi juga budaya hukum para penegak hukum itu sendiri, maka diperlukan pembinaan hukum yang berkesinambungan, dan meningkatkan pengawasan terhadap kinerja para penegak hukum tersebut.
Selain pembaharuan hukumnya, Pemerintah juga mendirikan sebuah lembaga yakni Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. Tugas dan wewenangnya, adalah dapat melakukan penyadapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi di atas Rp. 1 milyar, sebagai penyelidik, penyidik dan sekaligus dapat melakukan penuntutan terhadap orang tersebut, serta dibentuknya Peradilan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karenanya KPK juga dapat melakukan pengamatan secara khusus terhadap para pelaku koruptor, apakah si pelaku tersebut termasuk pelaku yang ekpresif atau pelaku yang instrumental.
Jadi dengan demikian “Pembaharuann hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana, di mana hakekat kebijakan hukum pidana adalah untuk mewujudkan peraturan-peraturan hukum pidana positip yang efektif dan lebih baik” , adaptif, secara holistic yang disesuikan dengan nilai-nilai yang diyakini segenap masyarakat Indonesia, yakni mencapai keadilan untuk terwujudnya kesejahteraan yang adil dan beradab berdasarkan Pancasila, yang bertujuan untuk kebahagian yang sebanyak-banyaknya masyarakat.

(b) Pemanfaatan aspek perdata dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang Dilakukan oleh Para Obligor BLBI Selaku Penerima Kucuran Dana dari BI dalam Usaha Menciptakan Rasa Keadilan Masyarakat

Berdasarkan Pasal 4, 18, 32 sampai dengan Pasal 38 UU PTPK, serta Pasal 4, ketentuan Pasal 31 tentang Pembekuan, Perampasan Dan Penyitaan (freezing, seizure and confiscation), Pasal 40 ini sebagai landasan menembus kerahasiaan Bank (Bank Secrecy), dan Pasal 43 dalam Bab IV yang mengatur tentang Kerjasama Internasional, dan ketentuan dalam Bab V tentang Pengembalian Asset (Asset Recovery), serta UNCAC, merupakan dasar bagi Pemanfaatan Aspek Perdata dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, khususnya dapat dijadikan pijakan dalam percepatan pengembalian aset negara atau pemulihan aset negara, baik yang berada di wilayah korban (Indonesia) atau juga yang di bawa ke luar negeri oleh para koruptor.
Sejalan dengan hal tersebut sebagaimana makna asas ultimum remidium bahwa upaya represif merupakan upaya terakhir apabila upaya lainnya tidak mampu untuk menyelesaikan kasus BLBI, merupakan suatu pendekatan yang perlu dioptimalkan selain asas oportunitas.
Dalam menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi seperti kasus BLBI, kasus Centuri atau kasus besar lainnya yang dilakukan dalam keadaan tertentu, Pemerintah (red. para penegak hukum) dihadapkan kepada dua mata pisau yang sama tajamnya, ketika berhadapan dengan proses penegakan hukumnya. Satu sisi kejahatan tersebut dapat dikatagorikan sebagai kejahatan yang mengarah langsung pada stabilitas keuangan (perekonomian) negara yang mengancam kesejahteraan rakyat yang harus segera diproses guna pemulihan aset negara, di sisi lain, sebagai kejahatan biasa yang dilakukan oleh para pejabat, pegawai negeri, perseorangan atau korporasi yang dilakukan baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan menyalahgunakan keadaan, jabatan, fasilitas negara, system politik dan hukum, termasuk proses dan mekanisme kerjanya, yang memanfaatkan latar belakang dan situasi politik.
Banyak para koruptor (melalui penal) kemudian lolos (SP3), karena cara mereka memanipulasi hukum, atau mungkin dari para penegaknya sendiri yang menyimpang, maka aspek perdata dalam hal ini mempunyai peran sebagai usaha pengembalian aset negara atau pemulihan aset dalam kasus BLBI maupun kasus-kasus korupsi lainnya, guna menciptakan good corporate governance, selanjutnya masyarakat dapat memperbaiki kesejahteraannya, sehingga Pemanfaatan Aspek Perdata menjadi solusi bagi Pemerintah untuk mengembalikan aset-aset yang dicuri oleh para koruptor. Maka menjadi relevan pendapat Jeremy Bentham, ”yang mengatakan bahwa hukum pidana janganlah digunakan apabila: Tanpa dasar (groundless), tidak menguntungkan (needless), tidak efisien (in efficiens) dan tidak berguna ( un profitable).
Menurut Undang-Undang No. 4 tahun 2004 jo. No. 9 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman), pada prinsipnya penyelesaian sengketa perdata dapat diselesaikan melalui jalur peradilan (litigasi) atau di luar jalur peradilan (non litigasi).
Secara teknis-yuridis dalam prakteknya belum ada kasus BLBI, kemudian diselesaikan dengan melalui sarana atau mekanisme perdata, dengan alasan sulit pembuktiannya, mengingat hukum acara perdata mencari kebenaran secara formal, maka dapat menyulitkan Jaksa Penuntut Negara (JPN) selaku Penggugat yang mewakili negara untuk membuktikan perbuatan melawan hukum para koruptor sehingga negara mengalami kerugian. Meskipun hal ini telah dilakukan audit BPK, namun hasil audit BPK tersebut belum cukup membuktikan adanya kerugian negara yang diakibatkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh si Tergugat, karena hasil audit BPK tidak memperinci siapa-siapa dan kepada siapa uang negara yang hilang tersebut berada. Selain itu juga adanya kesulitan untuk menentukan aset para koruptor yang dianggap sebagai hasil korupsi, meskipun Pasal 1131 KUHPer. menyebutkan bahwa seluruh kekayaan debor baik yang ada maupun yang akan ada kemudian menjadi jaminan utangnya.
Namun demikian apabila menilik teori hukum acara perdata, apabila seseorang mengajukan gugatan ke pengadilan, maka menurut Pasal 163 HIR yang dikenal dengan istilah beban pembuktian, guna pencapaian tujuan yakni pengembalian aset negara atau pemulihan aset, maka penggugat dalam hal ini JPN (lihat Pasal 32 UUPTPK) diberikan “beban pembuktian” sebagaimana diatur dalam Pasal 163 HIR Maka agar penggugat dapat memenangkan perkara tersebut harus membuktikan antara lain:

a. Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
b. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka terdakwa atau terpidana.
c. Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.

Mendasarkan teori beban pembuktian tersebut di atas, maka pada gilirannya Tergugat akan menjawab gugatan tersebut, seandainya Tergugat membantah dalil-dalil yang diajukan Penggugat, maka Tergugat akan membuktikan bantahannya.
Dengan adanya kesulitan penggunaan mekanisme perdata melalui jalur litigasi sebagaimana diuraikan di atas, maka untuk menjamin rasa keadilan masyarakat dan memberikan kepastian hukum yang tidak pernah kumjung datang, sejatinya Pemerintah telah mencari solusi lain dalam menyelesaiakan kasus BLBI tersebut, yaitu dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melaui Kepres No. 27 tahun 1998 yang bertugas untuk melakukan penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah, dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Namun demikian dari tahun 1998 hingga tahun 2002 BPPN belum membuahkan hasil yang maksimal. Untuk itu diperlukan cara lain agar aset negara segera kembali guna memperbaiki stabilitas nasional, maka cara non-litigasi menjadi salah satu pilihannya.
Untuk itu Megawati mengeluarkan Inpres No. 8 tahun 2002 tentang release and discharge sebagai tindak lanjut dari Tap MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 yang menginstruksikan kepada BPPN untuk segera mengambil langkah bagi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya melalui BPPN, untuk itu dilakukan negosiasi agar para Pemegang Saham sepakat memilih bentuk mekanisme perjanjian penyelesaian kewajiban antara lain dalam bentuk MSAA, MIRNA, atau APU tenggang waktu yang ditetapkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang selanjutnya Pemerintah akan mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) sebagai alasan penghentian penanganan aspek pidananya, oleh karena itu bagi para pemegang saham yang sedang menjalani proses pidananya kemudian oleh Jaksa Agung dikeluarkan SP3. Dikeluarkanya Inpres tersebut sesungguhnya bertujuan untuk mempercepat pengembalian kerugian negara atau aset negara ditangan para Pemegang Saham tersebut, guna mempercepat perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Pola penyelesaian BPPN tersebut antara lain menggunakan skema Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), yang diistilah release and discharge sebenarnya tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia, tetapi lazim digunakan di negara yang menganut sistem hukum common law. Meskipun demikian Release and discharge yang dimuat dalam perjanjian antara BPPN dengan para konglomerat atau obligor yang mempunyai kewajiban kepada BPPN berdasarkan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), baik yang berbentuk MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement-Perjanjian Penyelesaian BLBI dengan jaminan aset), MRNIA (Master of Refinancing and Note Issuance Agreement) Perjanjian Penyelesaian BLBI dengan jaminan asset dan jaminan pribadi), dan atau Akta Pengakuan Utang (APU) tersebut dijadikan sarana atau mekanisme yang diadopsi ke Indonesia guna menyelesaikan kasus BLBI, melalui BPPN.
Pola penyelesaian yang demikian merupakan maksud baik Pemerintah dalam mencari solusi penyelesaian utang BLBI dan merupakan tindakan yang berani meskipun ditentang sebagian kalangan ahli hukum dan NG’O, namun demikian mendapat dukungan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Putusannya tertanggal 30 Desember 2003 No. 06/G/HUM/2003 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada debitur yang bermasalah. Maka meenurut pendapat penulis yang didasarkan kepada teori Satjipto Rahardjo tentang pemikiran “hukum progresif”, sehingga penilaian keberhasilan hukum tidak dilihat dari diterapkannya hukum materiel maupun formal, melainkan dari penerapannya yang bermakna dan berkualitas, yaitu adanya keinginan segera dapat mengembalikan situasi perekonomian saat itu (pasca krisis moneter). Maka menjadi wajar ketika korupsi yang dilakukan oleh para koruptor secara berani tersebut, kemudian penyelesaiannya juga dilakukan secara berani yakni dengan secara out of court settlement yang menggunakan sarana ADR, yang notabene hukum formal (UUPTPK) tidak mengaturnya. Selain itu juga dapat memberikan kepastian hukum dalam pengembalian kerugian keuangan negara dengan mengesampingkan prosedur hukum pidana maupun perdata (litigasi).
Kemudian dengan telah melakukan pembayaran secara keperdataan dan telah pula dikeluarkan SKL tersebut ternyata menurut Pasal 1381 BW, serta Pasal 1853 KUH Perdata (BW) dan Pasal 4 dan Pasal 18 ayat (1) UU PTPK bukan berarti menghilangkan tanggung jawab dalam lapangan hukum pidananya. Namun demikian tindakan Pemerintah yang berani tersebut baik langsung maupun tidak langsung memberikan solusi bagi penyelesaian kasus BLBI, hal ini merupakan suatu terobosan hukum yang berani yang dilakukan Pemerintah, semata-mata demi pemulihan kesejahteraan rakyat yang terkena krisis multidimensi.
Pola penyelesaiaan melalui Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang (Release and Dischage atau pelepasan dan pengapusan) pada masa Pemerintahan Megawati inilah yang pada akhirnya berhasil mengembalikan aset-aset negara hingga trilyunan rupiah, walaupun perluasan dari kasusnya sendiri hingga saat ini belum tuntas.
Menyikapi hal ini penulis berpendapat bahwa pola negosiasi atau dapat diistilahkan dengan golden handshake dapat menjadi salah satu jalan ke luar dalam mempercepat penyelesaian tindak pidana korupsi selain menggunakan proses pidana.
Selanjutnya penyelesaian secara perdata (non litigasi) dapat dilakukan terhadap pengembalian aset negara atau pemulihan dan perampasan aset yang dikorupsi pun dapat dilakukan sehingga kerugian keuangan negara dapat segera diperoleh kembali serta pemulihan stabilitas ekonomi dapat segera teratasi.
Sejatinya penggunaan sarana atau mekanisme tersebut dapat dibilang lebih efektif katimbang menggunakan mekanisme yang lain, dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku. Pola semacam inilah yang saat ini banyak dikembangkan dalam menangani kasus-kasus tindak pidana di negara lain, begitu juga pada kasus-kasus perdata, di samping murah, cepat dan biayanya pun tidak banyak.
Kemudian untuk pengambilan aset negara yang berada di luar negeri dapat dilakukan yang didasarkan kepada ketentuan dalam Bab V tentang pengembalian asset (Asset Recovery) UNCAC, tentunya dengan meningkatkan hubungan diplomatik antara negara Indonesia dengan negara lain tempat aset negara tersebut berada (seandainya perjanjian extradisi belum ada), yaitu melalui sarana Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA) atau Bantuan Hukum Timbal Balik di bidang pidana dengan berbagai negara yang diatur dalam Undang-Undang No 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik yang mengatur tentang prosedur Mutual Assistance Request (MAR) atau permohonan bantuan hukum dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu.
Berkaitan dengan pengembalian aset (Asset Recovery), UNCAC, Pasal 43, Ketentuan yang dimuat dalam Bab V, dan Pasal 31 UNCAC mengatur tentang percepatan proses Stolen Asset Recovery (StAR) terhadap negara yang sedang menghadapi permasalahan pidana (korupsi) yang berkaitan dengan aset-aset negara yang dibawa atau ditanam di luar negeri. Perampasan aset negara yang ditinggalkan pelaku korupsi ke luar negeri sesungguhnya dapat dilakukan, tanpa pemidanaan. Hal yang demikian di dalam bukunya Greenberg, Theodore S. yang berjudul Stolen Asset Recovery, Good Practice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture) disebut dengan istilah “Perampasan Aset Non-Conviction Based (NCB) atau Tanpa Pemidanaan”.
Ketentuan tersebut sesungguhnya dapat diberlakukan dan diterapkan di Indonesia, mengingat fenomena yang terjadi belakangan ini, yaitu hasil korupsi (aset negara yang dicuri) di transfer ke luar negeri, yang diikuti kepindahan kewarganegaraan koruptor sehingga tidak memungkinkan lagi tersentuh oleh hukum nasional Indonesia, maka negara di mana barang atau aset negara korban (Indonesia) berada dan telah diduga bahwa barang tersebut hasil kejahatan, maka negara yang bersangkutan dapat melakukan tindakan perampasan terhadap barang atau aset (NCB) tersebut tanpa dilakukan pemidanaan terhadap pelaku (koruptor) tersebut.
Selain itu, terhadap barang-barang yang ditinggalkan di negara korban (Indonesia) meskipun telah dikuasai pihak ke III namun perolehan barang (aset) telah diduga dari hasil kejahatan (korupsi), maka menurut UNCAC negara korban dapat melakukan perampasan atas barang (NCB) tanpa pemidaan guna pemulihan atau pengembalian aset negara yang dicurinya, artinya bahwa diketahui adanya barang yang diduga hasil tindak kejahatan (korupsi) dapat dirampas oleh negara, meskipun si pelaku (koruptor) belum atau sedang dan atau bahkan sudah menjalani proses pidananya. Dapat dicontohkan dalam kasus BLBI banyak pelaku yang kemudian tidak diproses pidananya dengan alasan kurang adanya bukti tindak kejahatannya, tetapi telah nyata adanya kerugian negara yang timbul akibat perbuatannya tersebut, maka Pemerintah dapat melakukan perampasan atas barang-barang (NCB) pelaku tanpa dilakukan pemidanaan, hal ini merupakan tindakan in rem terhadap harta benda, bukan terhadap orangnya.
Menurut pendapat penulis, Prosedur ini akan efektif terutama terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan atas dasar (sarat) politis, sehingga si pelaku harus mengembalikan barang (uang / dana) kepada negara yang menjadi korban, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC.
Sayangnya, meskipun Indonesia telah turut meratifikasi UNCAC (UU Anti Korupsi Sedunia sebagaimana disahkan melalui UU No. 7 tahun 2006), namun hingga saat ini belum diimplementasikan dengan maksimal, baik sebagai upaya pencegahan maupun sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

(c) Kendala Hukum apakah yang menyebabkan berlarut-larutnya penyelesaian tindak pidana korupsi dalam kasus BLBI dan bagaimana solusinya?

1. Kendala Hukum Secara Penal.
a) masih adanya pengaruh muatan politik yang mempengaruhi dalam Penegakan hukumnya,
b) Sistem hukumnya yang kaku, sehingga tidak dapat menyelesaikan tindak korupsi yang sifatnya cair, dinamis, terselubung dan terorganisasi.
c) Kurang maksimalnya Pemerintah dalam pengejaran aset negara yang berada di luar negeri.
d) Kurang melibatkan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak korupsi.
e) Perilaku para penegak hukumnya sendiri cenderung melakukan KKN.

2. Kendala Hukum secara Non- Penal
a) Penyelesaian melalui gugatan perdata menemui kendala antara lain:
1) Prosedurnya lama, adversarial, biaya mahal.
2) Untuk menentukan aset dari hasil korupsi yang dilakukan Tergugat sangat sulit (karena kepandaian mengalihkan wujud / pencucuan uang)
3) Mencari kebenaran formil, sehingga sulit pembuktiannya.
4) Muncul kekhawatiran terhadap perilaku para penegak hukumnya sendiri.

b) Dalam Pelaksanaannya
1) Belum memaksimalkan ketentuan UNCAC tentang aset recovery.
2) Belum memaksimalkan prinsip litigasi multiyurisdiksi, artinya gugatan perdata dapat dilakukan oleh suatu negara yang menjadi korban (victim countries) dari tindak pidana korupsi yang diajukan melalui negara lain
3) Kurang maksimal terhadap pengawasan yang berkelanjutan terhadap para penegak hukum
4) belum adanya pengakuan mekanisme ADR, Retoratif justice sebagai sarana penyelesaian perkara tindak pidana korupsi.
5) Pengetahuan dan keberanian para penegak hukum masih berpihak kepada adanya aturan undang-undang (sebagai corong undang-undang), padahal dalam prakteknya para penegak hukum terutama hakim telah dibekali dengan Pasal 16 dan Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 Jo. No. 9 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, artinya dalam memeriksa dan mengadili hakim diberikan kebebasan untuk menemukan hukumnya dengan menggunakan berbagai metode penafsiran hukum berdasarkan intuisinya, agar dalam melaksanakan tugas yang hasil putusannya dapat dirasakan keadilannya oleh masyarakat serta memberikan kepastian hukum bagi pelaku korupsi secara jujur dan bertanggungjawab.

H. PENUTUP
1. Kesimpulan
1) Pembaharuan Hukum Pidana Positif dalam Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Upaya Pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan dengan berbagai pembaharuan hukum dan telah pula diimplentasikan oleh para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim Dan Advokat), namun upaya pemberantasan tindak pdana korupsi melalui pembaharuan hukum pidana tersebut belum menyelesaiakan atau belum membuat para koruptor menjadi jera.
Adapun pembaharuan hukum pidana, baik Hukum Pidana Materil maupun Formil tersebut, adalah:
a. Dimuatnya pengertian sifat melawan hukum materil,
b. Ditetapkannya seorang pegawai negeri atau mereka yang menduduki jabatan publik tertentu sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi,
c. Korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi di samping orang perorangan,
d. Dimungkinkan penggunaan dengan sarana perdata, sebagaimana termuat pada Pasal: 32, 33, 34 dan Pasal 38 C UU PTPK,
e. Dicantumkannya ancaman pidana minimum di samping ancaman pidana maksimum,
f. Dicantumkannya ancaman pidanan mati sebagai unsur pemberatan dalam hal-hal tertentu, misalnya negara dalam keadaan krisis,
g. Diberlakukan sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang (balanced burden of proof),
h. Diikutsertakannya masyarakat dalam pemberantasan korupsi, dipertegas dan diperluas sehingga perlindungan atas saksi pelapor lebih optimal,
i. Dioptimalkannya alat bukti elektronik.
Korupsi sudah menjadi kejahatan transnasional. Upaya yang dilakukan oleh Indonesia adalah turut meratifikasi Konvensi Anti Korupsi sedunia yang ditetapkan melalui Undang-Undang No. 7 tahun 2006 tentang UNCAC. Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi antara peraturan dan konvensi tersebut, serta meningkatkan hubungan ekstradisi dengan negara lain untuk mengoptimalkannya, namun demikian upaya tersebut belum diimplementasikan di Indonesia.

2) Pemanfaatan Hukum Perdata dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi Atas Kasus BLBI
Pada prinsipnya Pemanfaatan Hukum Perdata dalam penyelesaian tindak pidana korupsi dapat dilakukan dalam rangka pengembalian, pemulihan, dan perampasan aset negara yang dicuri oleh para koruptor, baik yang berada di Indonesia, maupun yang dibawa ke luar negeri atau yang di transfer ke luar negeri.
Proses atau prosedur hukum yang terkait dengan Aspek perdata yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan kasus BLBI adalah: Melalui mekanisme penyelesaian sengketa secara Litigasi, dan mekanisme Non-Litigasi.
Melalui mekanisme penyelesaian sengketa secara Litigasi dapat dilakukan dengan cara mengajukan Gugatan yang didasarkan Pasal 4, Pasal 18 ayat (1), dan Pasal 32, 33, 34 dan 38C UU PTPK terhadap aset yang berada dalam negeri. Selain itu juga dapat didasarkan kepada aturan Internasional (UNCAC) terhadap aset yang berada di luar negeri, dan meminta bantuan kepada lembaga MLA. Mengenai lembaga MLA ini telah diatur dalam UU No 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik.
Mekanisme penyelesaian sengketa secara Non-Litigasi dapat dilakukan melalui mekanisme ADR (Negosiasi, Restorasi Justice, Mediasi Penal). Upaya pengembalian aset negra melalui mekanisme ini telah dilakukan dalam kasus BLBI, yakni melalui negosiasi yang diinisiasi oleh Pemerintah (Megawati) dengan mengeluarkan Inpres No. 8 tahun 2002 tentang Release and Discharge (R&D) yang bertujuan untuk mempercepat pengembalian Aset Negara sebagai upaya memulihkan stabilitas perekonomian bangsa demi kesejahteraan masyarakat melalui lembaga BPPN. Selanjutnya Indonesia telah meratifikasi UNCAC, untuk itu untuk mempercepat pengembalian aset negara maka sarana MLA dengan prosedur MRA menjadi alternatif penyelesaiannya dengan menggunakan mekanisme mediasi penal, restorative justice, dan Perampasan Aset Barang Tanpa Pemidanaan Non-conviction based (NCB), upaya yang demikian itu harus dilakukan, mengingat tindak pidana korupsi masuk ke dalam katagori tindak kejahatan transnasional.

3) Kendala Hukum yang Menyebabkan Berlarut-larutnya Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus BLBI
1. Cara kerja sistem Hukum Pidananya bersifat formal-legalistik-positifistik, sehingga penerapannya kaku.
2. Sulitnya pembuktiannya
3. Dalam penegaran hukum pidananya Terbentur dengan adanya Putusan MK RI No 8 tahun 2006, sistem Politik negara berkembang,
4. Belum adanya kerjasama (perjanjian extradisi) dengan semua negara tempat aset berada.
5. Belum diterapkannya sistem pembuktian terbalik dalam proses penegakan hukumnya.
6. Hukum acara perdatanya telah usang
7. Prosedurnya lama, bertele-tele, dan biaya mahal
8. Koruptor dan Barangnya di bawa atau di transfer keluar negeri.
9. Adanya perbedaan sistem hukum antara Indonesia dengan negara lainnya, sehingga dapat menimbulkan perselisihan penerapan hukumnya.

2. SARAN
a. Dalam rangka penegakan hukum pidana korupsi, hendaknya para penegak hukum:
1) Tidak terpaku pada aturan undang-undang saja (asas legalitas), tetapi harus lebih memperhatikan rasa keadilan masyarakat yang terkandung dalam nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat (lihat Pasal 28 UU Kehakiman).
2) Perlu dilakukan pembaharauan, penyesuaian dan harmonisasi dengan UNCAC 2003
3) Segera mengimplementasikan UNCAC
4) Dalam memutus perkara hakim dapat lebih mengoptimalkan paste yurispruden sebagai sumber hukum.
5) Memaksimalkan asas pembuktian terbalik
6) Alat bukti elektronik, segera di atur secara tegas dalam hukum acara pidana.
7) Untuk menimbulkan rasa jera bagi masyarakat, maka Pasal 2 ayat (2) UU PTPK yaitu ancaman pidana mati perlu diberlakukan secara maksimal, termasuk menerapkan denda maksimal;

b. Pemanfaatan aspek hukum perdata dalam rangka mengembalikan Kerugian Negara melalui gugatan hendaknya:
1) Perlu dilakukan Reformasi Hukum Acara Perdata terutama berkaitan dengan telah diratifikasinya konvesi anti korupsi (UNCAC 2003), khususnya mengenai prinsip-prinsip pengembalian aset negara yang dikorupsi melalui gugatan perdata;
2) Alat bukti elektronik, segera di atur pula dalam hukum acara perdata (HIR dan Rbg).
3) Meningkatkan hubungan diplomatik dengan negara yang tidak melakukan perjanjian extradisi guna memudahkan pengambilan aset yang berada di negara lain (di luar negeri).
4) Mengoptimalkan pemanfaatan aspek hukum perdata yaitu agar Jaksa Agung mendorong Menkeu untuk mengeluarkan kuasa kepada JPN untuk mengajukan gugatan pengembalian kerugian negara kepada para pelaku korupsi BLBI;
c. Menghidupkan kembali upaya paksa badan (Lembaga Gizjeling) secara kasuistis, terutama dalam kasus-kasus korupsi yang nilainya sangat besar seperti penyimpangan BLBI dengan tujuan, agar terdakwa, atau keluarganya dapat segera mengembalikan kerugian negara tersebut.
d. Segera dibentuk aturan tentang Perampasan Aset Barang Tanpa Pemidanaan Non-conviction based (NCB) sehingga kesejahteraan masyarakat akan segera pulih kembali.
e. Untuk memperbaiki citra Bangsa Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik dan untuk menghilangkan budaya korupsi di Indonesia, hendaknya mulai ditanankan rasa benci masyarakat terhadap korupsi dengan cara memasukkan mata pelajaran wajib Anti Korupsi pada kurikulum disekolah mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi (seperti mata pelajaran Civic dahulu), sehingga diharapkan generasi Bangsa yang akan datang menjadi manusia-manusia Indonesia yang tangkas,tanggap dan tangguh dalam membangun negara dan bangsa Indonesia guna mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, sebagaimana telah dilakukan Negara Cina sekarang ini.































DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, 1996aa
Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, Indianapolis, University Press, Oxford, 1976
Alsadair Maclntyre, A Short History Of Ethics (A History Of Moral Philosphy From The Homeric Age To The Twentieth Century). Great Britain: Alden Press Oxford, 1976
AMERCANA CORPORATION International Headquaters: 575 Lexsington Avenue, New York, New York 10022, The Encyclopedia Americana International Edition, volume 8, First Published, 1829
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Bina Cipta, Jakarta, 1991
-------------------, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991
-------------------, (b). Komentar Terhadap Putusan MA RI mengenai Korupsi, Cetakan ke tiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991
-------------------, Ide yang Melatarbelakangi Pembalikan Beban Pembuktian, Makalah pada Seminar Nasional “Debat Publik Tentang Pembalikan Beban Pembuktian”, Hari Rabu, Tanggal 11 Juli 2001 di Universitas Trisakti
-------------------, Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana, Cetakan I, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002
-------------------, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005
Austin Fagothey. Right And Reason (Ethis In Theory And Practice). United State of America: Mosby Company, 1953
Atiyah. An Introduction To The Law Of Contract. Oxford: Clarendon Press, 1981
B. Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum Indonesia dan “Percikan Gagasan Tentang Hukum ke III” editor : Wila Chandrawila Supriadi, Mandor Maju, Bandung, 1998
Bagir Manan, Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan RI Menurut UUD 1945, Makalah, UNPAD, Bandung, 1994
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil (Problematika Filsafat Hukum), Grasindo, Jakarta, 1999
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogjakarta, 1993
B. Soedarso, Korupsi di Indonesia, Bhatara, Jakarta, 1969
Bassiouni, M. Cherif, Criminal Law and Its Processes: The Law of Public Order Bannerstone, Springfield, 1969
Chamelin, Neil C., Introduction to Criminal Justice, Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1975
Clifton H. Kreps, Banking and Monetary Policy, The Royal Company Press, New York, 1962
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet. VI Mei 2006
Djaja. S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung, 2006
Direktorat Jendral Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Pembentukan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, Jakarta, 1971
Enschede, Ch.J. & A. Heijder, Asas-asas Hukum Pidana (Beginselen van Strafrecht), Diterjemahkan oleh R. Achmad Soemadipradja, Alumni, Bandung, 1982
Friedman, Lawrence M., American Law: What is a Legal System ? Ontario: W.W. Norton & Company, Inc 500 Fith Avenue N.Y., 1984
Friedman, W., Teori dan Filsafat Hukum, Hukum dan Masalah-Masalah Kontemporer (sususnan III), Rajawali, Jakarta, 1990
Gibson, Bryan Paul Cavadus, et.al., Criminal Justice In Transition, First Edition, Waterside Press, Wichester, 1994
Guntur Subagja, Politik dan BLBI, Ekbis Global Medianusa, 2000
German, A.C., Frank D Day & et.al., Introduction to Law Enforcement & Criminal Justice, Sxth Printing, Charles C. Thomas Publisher, Illionis, 1968
Gr. Van der Burght, Buku Tentang Perikatan, Mandor Maju, Bandung, 1999
Greenberg, Theodore S., Samuel, Linda M., et al. Stolen Asset Recovery, Good Practice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture), The World Bank, Washington DC 20433, USA, 2009
H. Prins, Criminal Behaviour, An Introduction to Its Study and Treatment, Pitman Publishing Corporation, New York, 1973
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, 2006
Hassan Shadily, ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1983.
Hulsman, L.H.C., Sistem Peradilan Pidana : Dalam Perspektif Perbandingan Hukum (The Dutch Criminal Justice: System From A Comparative Legal Perspective), Diterjemahkan oleh Soedjono Dirdjosisworo, CV. Radjawali, Jakarta, 1984
Henry P. Panggabean, Penyalahguanaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), Liberty, Yogyakarta, 1992
Henry Campbell Black’s Black’s Dictionary. Sixth Edition. St. Paul Minn: West Publishing Co, 1990
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Pejanjian Indonesia (Hukum Perjanjian berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia), Citra Adityia Bakti, Bandung, 2006
Hoefnagels, G. Peter, The Other Side of Criminology, Kluwer B.V., Rotterdam, 1973
Huala Adolf, “The Indonesian Arbitration and Alternative Dispute Resolution Act 1999”, 5:2 lnt.A.L.R. (May 2002)
I.F. Stone, Peradilan Socrates, Skandal Terbesar Dalam Demokrasi Athena (The trial of Socrates), diterjemahkan oleh Rahma Asa Harun, Pustaka Utama Grafiti, 1991,
Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
------------------, BPPN The End, Yayasan SAD Satria Bhakti, Jakarta, 2004
Indiyanto Senoadji, Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korupsi Perbankan, Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Unpad, Bandung, 2004
John A., Gardiner and David J Olson, Thieft of The City Reading on Corruption in Urban Amerika, Indiana University Perss London, 1974
John A. Haslem, Bank Funds Management, Reston Publishing Company, Virginia, 1984
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992
J. Soedradjad Djiwandono, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis, LP3ES, Jakarta, 2001
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
James Rachel, Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 2004
Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, 2006
J.J.H Bruggink (Alih Bahasa: Arief Sidharta). Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996
Johannes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Konpensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Utomo, Bandung, 2003
----------------------, Bank Intermediasi Sebagai Lembaga Dalam Hukum Positif, Utomo, Bandung, 2004
---------------------- dan Lindawaty S., Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, 2004
---------------------- Bank Sebagai Lembaga Internasional dalam Hukum Positif, Utomo, Bandung, 2004
Joko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1987
Komaruddin Sastradipocra, Strategi Manajemen Bisnis Perbankan (Konsep dan Implementasi Untuk Bersaing), Kappa Sigma, Bandung, 2004
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development’. Journal of International Law and Policy. Vol. 9 (1980)
Maramis, Frans, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995
Mudarsyah Sinungan, Manajemen Dana Bank, Rineka Cipta, Jakarta, 1989
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1969
----------------------, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, Bina Aksara, Jakarta, 1985
----------------------, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, (kumpulan Karya Tulis), Alumni, Bandung, 2006
Moh. Nazir, Methode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Cetakan I, Alumni Bandung, 1992
Mudrajat Kuncoro et.al. Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : BPFE, 2002
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
----------------------, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
----------------------, Segi-segi hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986
Niegel Walker, Sentencing in a Rational Society, New York, 1972
Oemar Seno Adji, Hukum acara Pidana dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, 1976
----------------------, Peradilan Bebas Negara Hukum, Cetakan Kedua, Erlangga, Jakarta, 1985
----------------------, Penyitaan Harta Kekayaan Yang Berasal Dari Tidak Pindana Kejahatan, Cetakan Pertama, Tri Grafika, Jakarta, 1992
Padmo Wahyono, dkk., Kerangka Landasan Pembangunan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989
Peter Aronstam, Consumer Protection, Freedom of Contract and The Law, Juta and Company Limited, Cape Town, 1979
R. Setiawan, Aneka Masalah Hukum & Hukum Acara Perdata, Cetakan Kesatu, Alumni, Bandung, 1992
----------------------, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1994
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, UI, Jakarta, 2003
Rukmana Amanwinata, Pengantar dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul dalam Pasal 28 UUD 1945, Alumni, Bandung
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, 2000
----------------------, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1983.
----------------------, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1979.
----------------------, Membedah Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006
----------------------, Hukum Progresif, Genta Pusblishing, Yogyakarta, 2009
Salim, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, 2004
----------------------, Studi Keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 2002
----------------------, Mengurai Benang Kusut BLBI (Edisi II), Bank Indonesia, Jakarta, 2003
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993
Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 2002
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di Dalam Penelitian Hukum, Dokumen Hukum UI, Jakarta, 1979
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Pembangunan & Galia Indonesia, Jakarta, 1987
Soedjono Didjosisworo, Misteri Dibalik Kontrak Bermasalah, Mandar Maju, Bandung, 2002
Sonny Keraf, Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya), Kanisius, Yogyakarta, 1998
----------------------, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah (Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith), Kanisius, Yogyakarta, 1996
Sri Mulyanim Indrawati, Teori Moneter, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1988
The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan, Super, Yogyakarta, 1979
Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, Jakarta, 2009
Thomas Suyatno. Kelembagaan Perbankan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993
T. Subarsyah S, Ringkasan Disertasi Penegakan hukum Terhadap Kejahatan Bidang Politik di Indonesia Dalam Kontek Pembaharuan Hukum Pidana, tanpa penerbit, tanpa kota, 2010
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtisar, Jakarta, 1961
Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu, Edisi Kedua, Eresco, Jakarta, 1986
----------------------, Perbuatan Melanggar Hukum, Cetakan Ke-tujuh, Sumur Bandung, Bandung, 1990
Woyowasita, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2001
Zulkarnaen Sitompul, Problematika Perbankan, Book Terrace & Library, Jakarta, 2005

Sumber lain:
Jurnal:
Dwidja Priyatno, Jurnal Lembaga Perlindungan Hak Anak, RESTORASI, edisi VIII/volume III, 2007, hal 03-04
Firdaus Arifin, Teori Negara Hukum,
Iskandar, Supatmo Ika, Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata, Journal No. , Vol. 1, No. 1, April 2009, Keywords: Corruption, Return Of State Assets, And Civil Action Subject: Judical Corruption – Law And Legislation http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php? id=gdlhub-gdl-s3-2009-iskandarsu-11054&PHPSESSID=633b...
Pembenahan hukum yang meliputi struktur atau legal structure dimuat dalam KOMPAS Jumat, 20 November 2009
Studi Hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
Perlu Mekanisme Atasi Hambatan dalam Kompas, 27 Oktober 2007
Koran Sindo, Rabu, 20 Juni, Ulasan Aset Negara Ditata Ulang Tagas, Jakarta, 2007
Rakyat Merdeka, ”RI Rekorup di Asia Pasifik”, tanggal 11 Maret 2010

Makalah-Makalah
Achmad Rizky Pratama, Fungsi Yurisprudensi Bagi Hakim Dalam Menyusun Putusan Pengadilan Pada Perkara Pidana,
http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:AODPX6czNF8J:skripsi.unila.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/Fungsi-Yurisprudensi-Bagi-Hakim-Dalam- Menyusun-Putusan-Pengadilan-Pada-Perkara Pidana.pdf+Pengertian+fungsi+ yurisprudensi+pidana&hl=id&gl=id&sig=AHIEtbTYHtOU5-fxngp9dxkjVfrPjwdXtQ
Asian Development Bank, The Promoting, Deregulation and Competition Project, Analisis Ekonomi terhadap Kebijakan Komersial
Barda, Nawawi Arief, Mediasi Pidana (Penal Mediation) Dalam Penyelesaian Sengketa/ Masalah Perbankan Beraspek Pidana Di Luar Penga-dilan, makalah dalam Dialog Interaktif Mediasi Perbankan, di Bank Indonesia Sema-rang, 13 Desember 2006; dimuat dalam KAPITA SELEKTA HUKUM, penerbitan khusus menyam-but Dies Natalis ke 50 FH UNDIP, 2007.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, PSP: Petunjuk Pelaksana Pemeriksaan Khusus Atas Kasus Penyimpangan Yang Berindikasi Merugikan Keuangan Atau Kekayaan Negara Dan Atau Perekonomian Negara, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Jakarta, Juni 1996
Bachtiar Sitanggang, “Release and Discharge” Tak Dikenal dalam Sistem Hukum Indonesia, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0904/23/huk03.html
Bismar Nasution. ”Stolen Asset Recavery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia” Makalah Narasumber dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007
Bank Dunia, Menciptakan Peluang Keadilan, Laporan atas Studi “Village Justice in Indonesia” dan “Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum di Tingkat Lokal”, Jakarta, Februari 2005.
Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), “Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm
Catatan Kuliah, Hukum Acara Perdata, Uiversitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2002.
Erman Rajaguguk, dalam Makalahnya yang Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006.
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta, Surabaya, 1986
Hendarman Supandji, New York State Dispute Resolution Association, Inc., Alternative Dispute Resolution in New York State, An Overview, dalam sbr internet, dalam orasi penganugerahan gelar Doktor, Semarang, 2009
I Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara, dalam Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008
Kejaksaan Republik Indonesia dalam Seminar, Strategi Dan Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Melalui Tindakan Preventif dan Represif, Tanggal 23 Juli 2008
Kumpulan Karangan Ilmiah Alumni Unpar, Percikan Gagasan Tentang Hukum Ke-III, Bandung: Mandar Maju, 1998
Laporan penelitian USAID (United States Agency for Internal Development) : “PromotingTransparency and Accountability : USAID'S Anti corruption Experience”, Center Governance, Bureau for Global Programs, Field Support, and Research, U. S. Agency for International Development; Washington D. C; January 2000.
Mahyuni, Optimalisasi Pengembalian Asset Negara Dalam Prespektif Hukum Pidana Dan Perdata, Seminar Pengkajian Hukum nasional 2007: Pengembalian Aset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset recovery (Star) Initiative, Dan Perundang-Undangan Indonesia
Muladi, Seminar Nasional RUU KUHP Nasional I (Beberapa Catatan Berkaitan dengan RUU KUHP Baru), Universitas Internasional Batam, Batam, 2004
Ramlan dalam Artikel Hukum Pidana, tertanggal 9 Juli 2007, http://www.legalitas.org/?q =category/kategori-artikel/artikel-hukum-pidana
Satjipto Rahardjo, “Siapa Bilang Jaksa Tak Butuh Keberanian?”, artikel dalam Kompas, 4 Agustus, 2004.
Satgas BLBI. Studi Hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Jakarta : Bank Indonesia, 2002
Sofjan Assauri, Manajemen Produksi dan Operasi, Edisi Empat, Lembaga Penelitian FEUI, Jakarta, 1993
Todung Mulya Lubis, “Memerangi Korupsi di Peradilan Dari Sisi Advokat”, Makalah pada Seminar Anti Corruption Summit diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta 11-12 Agustus 2005
Tim Naskah Akademis BPHN, “Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan”, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta,1985

Website: http://hukumtatanegaraindonesia.blogspot.com/2007/07/negara-hukum
Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), “Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm
Kejaksaan RI, Hasil Seminar,
http://www.kejaksaan.go.id/unite_kejaksaan.php?idu=&idsu=39&id
Sudarto dalam Agus Rahajo, Perkembangan ajaran sifat melawan hum material dalam hukum pidana Indonesia,
http://www. Unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/Agus.
http://www.elsam.or.id/kkr/romli.html
http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/10/13/prinsip-pengembalian-aset-hasil-korupsi-bagian-viii/
http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/index.html
www.ency.tcv.pl/.../Yurisprudensi_Mahkamah_Agung_Republik_Indonesia.html
Thomas Koten, ”Penegakan Hukum Perspektif Etika”, Medan, Koran Tempo, 7 Maret 2006; http://antikorupsi.org/indo/content/view/7575/6/







RIWAYAT HIDUP


I. Identitas
Nama : Aang Achmad
Tempat, Tanggal Lahir : Tasikmalaya, 1 Februari 1944
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : H.E.Badruzaman
Nama Ibu : Hj.Siti Mariah
Nama Isteri : Hj.Nurleli
Nama Anak : H.Ridwan Nurdin, S.H.
dr.Neneng Z.Fharida,
Hj. Nurul Aeni
H. Firman Nurhakim. S.H.
Dian Anggraeni, Sip.
Nama Menantu : Hj. Laelasari
dr. H. Hamdan
Ir. H. Dani Syamsudin
Ratu Furi, S.T.
Bambang Medianto, S.H.
Nama Cucu : Burhanudin Bangsadiria,
Achmad Bangsadiria,
Futri Nisrina,
Alpin Achmad Bangsadiria,
Fauzi Achmad Bangsadiria,
Alifa Rahma Dwi Ardani
Faakhir Achmad Bangsadiria,
Anggara Lukman Bangsadiria,
Andara Dwi Sarah Sarani
Jasmine Tabinamecca
Agama : I s l a m

Jabatan Pekerjaan : Dosen FH Unpas
Konsultan Hukum
Advokat dan Mediator.
Alamat Kantor : Jl. Srigalih No.7,Moh. Ramdan, Bandung
Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung
Alamat Rumah : Jl. Srigalih No.5-7, Moh.Ramdan, Bandung.

II. Riwayat Pendidikan
A. Pendidikan Formal
1. SDN Sukabumi, 1957,
2. SMP Mardiyuana Sukabumi,1961,
3. Sekolah Hakim & Jaksa Negara (SHD) Malang,1965.
4. Magister Management (MM), STIM Jakarta, 2000.
5. Magister Hukum (MH), STIH IBLAM Jakarta, 2002;
6. S3, Ilmu Hukum Progran Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

B. Pendidikan Non Formal
1. Penataran Administrasi Aparatur Kehakiman Departemen Kehakiman, Bandung,1984;
2. Penataran Tenaga Administrasi Urusan Hukum Departemen Kehakiman, Jakarta,1985;
3. Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Lanjutan Dep.Keh.(Sepala Def.Keh.) Angkatan IV, Jakarta, 1986;
4. Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Madya (Spadya) Dep.Keh, Jakarta, 1989;
5. Pelatihan Pan.Sek.Peradilan Umum, Jakarta,1994;
6. Asia-Pacific Intermediate Courts Conference, Singapore, 1995;
7. Pelatihan Teknis Yustisial Panitera Peradilan Umum, Mahkamah Agung, Jakarta 1995;
8. TRAINING OF Legal English at the Distric oh High Court in South Sumatra, Palembang 1998;
9. Pelatihan Teknis Yustisial Peningkatan Pengetahuan Hukum Panitera Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung RI, 1999;
10. Pendidikan dan Latihan Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Menengah (Spamen-LAN), Jakarta 1999;
11. Pelatihan Teknis Fungsional Mahkamah Agung, Jakarta 2001;
12. Pelatihan HAM Dep.Keh. Jakarta 2002
13. Pelatihan Mediator, Bandung 2008;

III. Riwayat Pekerjaan
1. Calon Hakim Muda Pengadilan Negeri Tasikmalaya, 1965;
2. Panitera-Pengganti, Pengadilan Negeri Tasikmakaya, 1966;
3. Kepala Sub Perkara Perdata Pengadilan Negeri Bandung, 1981;
4. Calon Hakim Pengadilan Negeri Bandung, 1981;
5. Kepala Kepaniteraan Perkara PN Bandung, 1988;
6. Panitera Kepala dan Sekretaris PN Bandung, 1990;
7. Dosen Fakultas Hukum UNPAS, 1981 sampai sekarang;
8. Panitera Kepala dan Sekretaris Pengadilan Tinggi Sumatera-Selatan Palembang, 1998;
9. Penitera Kepala/Sekretaris Pengadilan Tinggi Jabar, Bandung, 2000;
10. Panitera Kepala/Sekretaris Pengadilan Tinggi DKI, Jakarta, 2002;
11. Pensiun Pansitera/Sekretaris PT.DKI, Jakarta 2004;
12. Konsultan Hukum, Advokat dan Mediator pada Kantor Hukum AANG ACHMAD dan Rekan, Jl.Srigalih No.7 Bandung;

1 komentar:

  1. Tampilannya ganti donk jangan merah, ga bs konsentrasi bacanya. Jadi sakit nie mata.

    BalasHapus